Ketika Semuanya Semakin Enak
“Kita mau kemana Mas?” Tanyaku, saat Mas Anton membelokan mobilnya kekanan, bukan kekiri kearah rumahku.
“Kita makan bentar ya! Sekalian ada yang ingin Mas omongin sama kamu.”
“Penting ya Mas?”
Dia menoleh kearahku. “Bangeet!” Jawabnya tersenyum.
Tak lama kemudian kami tiba di sebuah rumah makan terapung. Mas Anton segera memakirkan mobilnya, lalu ia mengajakku nemilih tempat yang agak mojok, menghadap langsung kedanau.
Tak lama pelayan menghampiri kami, Mas Anton segera memesan bebek bakar beserta dua jus mangga.
“Emang Mas mau ngomong apa si?” Tanyaku bingung.
“Mas bingung mau mulai dari mana.”
“Tumben, Mas grogi ya?” Godaku, dia tertawa renyah lalu menggenggam erat tanganku.
“Gimana gak gerogi kalu di dekat Mas ada bidadari secantik kamu.” Uh… dia lagi-lagi ngegombalin aku, tapi aku menyukainya.
“Berani?” Kuremas jemarinya dengan kuat. “Aku aduhin sama Mas Hasan loh!” Ancamku, tentu saja aku bercanda, aku tidak akan mengadukan perbuatannya, mau senakal apapun dirinya.
“Emang kamu tega?” Balasnya.
Aku tersenyum, lalu ketika aku hendak kembali menyampaikan argumenku, pelayan datang mengantarkan pesanan kami berdua.
Alhasil kami menghentikan obrolan kami, dan segera melahap habis makanan yang ada di hadapan kami, sesekali aku mencuri pandang kearah Mas Anton, dia sangat berbeda dengan Suamiku yang lebih pendiam dan sangat baik. Kalau Mas itu Anton ini tipe cowok yang suka ngenggombal dan sangat nakal.
Kurang lebih setanga jam kemudian kami telah menyelsaikan makan malam kami, tapi kami tak langsung beranjak pergi.
Kami menghabiskan malam dengan mengobrol ringan, sesekali aku tertawa dan meringis ketika ia mulai kumat dan suka menggombaliku seperti biasanya. Tapi, ya… seperti yang kukatakan sebelumnya aku suka saat ia menggombaliku, rasanya gimana gitu…
“Eh tadi katanya mau ngomong, emang kamu mau ngomong apa?” Tanyaku teringat dengan perkatannya sebelumnya.
“Aku bingung mau mulai dsri mana.”
“Udah santai aja, emang kamu mau ngomongin soal apaan ni?”
“Kitakan udah lama kenal, dan lagi kita juga sudah punya pasangan masing-masing….” Dia diam sejenak, sambil menatap mataku.
Entah kenapa perasaanku jadi tak tenang. “Terus…!” Kataku tak sabar.
“Menurut kamu salah gak, kalau aku jatuh cinta sama kamu. Ya… aku tau ini gila, tapi aku serius.” Dia semakin erat menggenggam tanganku.
“Maaf Mas, aku gak ngerti.” Kataku getir.
“Maafin Mas, kalau ucapan Mas ini membuat kamu merasa tidak nyaman, Mas hanya ingin jujur dengan perasaan Mas saat ini, semoga kamu mau mengerti dan tidak membenci Mas.”
“Aku bingung harus jawab apa Mas, kurasa Mas juga tau aku sudah bersuami, dan Mas juga sudah punya Istri, rasanya kita tidak mungkin bersatu.”
“Mas tidak meminta kamu untuk menceraikan Suami kamu Ina. Mas hanya ingin kamu tau, kalau Mas sangat menyayangimu, dan berharap Mas bisa menjadi kekasihmu, walaupun itu hanya sebatas sebagai kekasih gelapmu. Mas tidak memita lebih.”
“Aku belum bisa jawab Mas.”
“Mas mengerti.” Ujarnya tersenyum. “Oh iya, Mas kemarin jalan-jalan gak sengaja melihat sesuatu yang menarik, Mas pikir kamu pasti menyukainya, jadi Mas belikan ini untukmu.” Sambungnya, lalu ia mengambil sesuatu di dalam sakunya.
Dia berjalan di belakangku, lalu kulihat dia melingkarkan sesuatu di leherku.
Ini… kalung berlian, aku tau ini harganya pasti sangat mahal sekali. Oh… Mas Anton, kamu begitu mengerti apa yang kuinginkan, berbeda dengan Suamiku, jangankan membelikanku perhiasan, menafkahiku saja dia sudah tidak mampu.
“Bagus banget Mas!”
“Kamu suka?” Aku mengangguk sembari tersenyum.
“Sangat suka Mas!”
“Itu untukmu… Orang yang sangat Mas sayangi!” Katanya, lalu ia mengecup pipiku.
Sekitar jam 12 malam, aku terbangun karena ingin buang air kecil. Kulihat putra semata wayangku Toni masih terlelap, sepertinya ia sedang bermimpi indah.
Sebenarnya Toni anak yang baik, jangankan menyakiti manusia, menyakiti binatangpun dia tak mampu, tapi entah kenapa tadi pagi dia sangat emosional terhadap sepupunya Irwan. Bahkan ia sempat menuduh Kakaknya sendiri yang memukulinya.
Eehhmm… Aku pasti akan mencari tau penyebabnya kenapa ia bisa seperti ini.
Oh… iya namaku Emi Sulia Salvina usiaku saat ini 35 tahun, sementara Suamiku Andre bekerja di Jakarta, biasanya ia pulang satu bulan sekali, bahkan tak jarang lebih lama dari itu.
Karena aku tipe wanita penakut, sehingga aku selalu meminta putraku untuk menemaniku tidur berdua di dalam kamarku, ketika Suamiku sedang tidak berada di rumah. Walaupun aku tau saat ini Toni sedang beranjak remaja, tapi aku merasa lebih aman tidur bersamanya.
Aku turun dari tempat tidurku, lalu mengambil kerudung rumahan berbahan kaos.
Perlahan aku melangkah keluar kamar agar tidak membangunkan putraku. Selesai buang air kecil, kulihat tv di ruang keluarga masih menyala, terakhir yang menonton adalah putraku, kupikir ia pasti lupa mematikan tvnya. Tapi ketika langkah kakiku memasuki ruang keluarga, aku mlihat ada seseorang yang sedang menonton tv.
“Irwan… kamu belum tidur?” Aku menghampiri Irwan yang sedang tiduran di sofa.
Melihat kedatanganku, Irwan buru-buru bangun. “Belum ngantuk Bunda.” Jawab Irwan, sembari menggeser posisi duduknya ketika aku hendak duduk.
Aku mendesah pelan. “Ini sudah jam dua malam, nanti besok kamu bisa kesiangan!” Kataku mengingatkan dirinya. Jujur saja aku masih merasa bersalah terhadapnya atas sikap anakku tadi pagi, aku takut ia masih tersinggung dengan perkataan anakku.
“Sebenarnya aku berencana mau pulang Bun, mau bantu Ibu Bapak di kampung?”
“Loh… kok pulang, kamu mau pindah sekolah?”
“Gak kok Bund, aku mau bantu Bapak aja di sawah, mereka mana ada uang Bun! Lagian sekolah di kampung jaraknya agak jauh Bunda.” Tuturnya, membuat hatiku miris mendengarnya.
“Kamu uda bosan sekolah?”
Dia tersenyum getir. “Iya gaklah Bunda, sekolah itu penting buat masa depan!” Jelasnya.
“Kenapa kamu mau berhenti? Kamu masih marah sama anak Bunda?” Tanyaku, dia hanya diam berarti dugaanku benar. “Bunda juga tidak mengerti kenapa Toni bisa menuduh kamu seperti itu, tapi yang pasti Bunda percaya sama kamu.” Jelasku, bagaimanapun caranya aku harus bisa membujuknya untuk tetap tinggal.
Dia menggeleng pelan. “Aku tidak marah sama Toni Bunda, aku mengerti kenapa Toni seperti itu, kalaupun aku berada di posisi yang sama seperti Toni, akupun juga pasti melakukan hal yang sama.” Jelasnya.
“Maksud kamu?”
“Toni cemburu sama Irwan.” Katanya, kemudian dia merebahkan kepalanya di pangkuanku, tapi aku hanya diam membiarkannya tiduran di pangkuanku. “Selama ini Toni selalu di manja, selalu mendapatkan perhatian lebih dari Bunda, tapi tiba-tiba mendadak aku hadir di keluarga ini, membuat dia resah kalau nanti aku mengambil Bunda darinya.” Aku mengangguk paham maksud perkatannya.
Wajar saja kalau ada kekhawatiran yang dirasakan anakku, karena selama ini ia tidak punya saingan untuk mendapat perhatian dariku, tapi tiba-tiba Irwan hadir, dan sedikit banyak mungkin anakku mulai merasa terancam dengan kehadiran Irwan, tapi yang kusesalkan adalah caranya. Dia tidak perlu menuduh Irwan agar di usir dari rumah ini, dia hanya bersikap sedikit lebi baik.
“Maafkan Toni ya Wan!”
“Toni sudah kuanggap seperti adikku sendiri.” Jawab Irwan, sembari tersenyum kepadaku.
“Berarti sudah tidak ada masalah lagikan? Kamu bisa melanjutlan sekolah di sini, Bunda pasti merasa kesepian kalau kamu pulang.” Kubelai rambutnya dengan perlahan, menandakan kalau aku sangat menyayanginya.
“Maafkan Irwan Bunda, tapi…. Irwan juga kangen Ibu.”
“Kan ada Bunda di sini, walaupun Bunda bukan Ibu kandung kamu, tapi Bunda juga sangat menyayangi kamu, sama seperti Ibumu” Jelasku, lalu kukecup lembut keningnya.
“Aku tau Bunda, selama ini rasa kangenku terobati setiap berada di dekat Bunda, tapi ada satu kebiasan Irwan lakukan sama Ibu, dan itu tidak mungkin bisa aku dapatkan dari Bunda.” Aku merenyitkan dahiku.
“Apa itu sayang?”
“Irwan malu Bunda.”
“Kok malu, Bunda akan melakukan apapun asal kamu mau tetap tinggal di rumah ini.” Kataku sembari tersenyum kepadanya.
“Janji Bunda tidak akan marah?”
“Janji!” Jawabku cepat.
“Jujur Bunda, walaupun aku sudah besar, tapi Ibu selalu memanjakanku, bahkan tak jarang memperlakukanku seperti balita, misalkan…” Dia menggantung ucapannya. “Setiap kali aku mau tidur, aku punya kebiasaan nenen sama Ibu!” Dia mengakhirnya dengan memalingkan wajahnya kekanan.
Astaga….! Anak sebesar ini masi suka nenen?
Entah kenapa aku jadi teringat cerita sahabatku, kalau putra bungsungnya masi suka menciumi tekiaknya atau mengendus-endus tubuhnya, kalau ia melarang putranya melakukan itu, anaknya pasti ngambek gak mau makan dan sekolah.
Tapi usia anaknya saat ini masih 9 tahun dan bisa maklumi, tapi Marwan?
“Jangan cerita kesiapa-siapa ya Tan? Marwan malu kalau sampe ada orang lain yang tau, ini biar menjadi rahasia kita berdua.” Aku mengangguk.
Entah kenapa ada perasaan kasihan melihat Irwan yang tampak menderita, di sisi lain aku bisa mengerti dan memaklumi kebiasaannya tersebut, tapi di sisi lain diriku menolak untuk mengganti posisi Ibu kandungnya yang terbiasa membiarkan Irwan menghisap payudarahnya walaupun anak ini sudah remaja.
Tapi Irwan sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri, apa salahnya kalau aku melakukan apa yang biasa di lakukan Ibunya, toh Irwan bukan anak yang nakal.
Tapi… tapi… Aaarrr… sial kenapa aku jadi deg-degkan seperti ini, ayo Emi cepat ambil keputusan, kamu ingin Irwan pulang kekampung halamannya atau kamu menginginkan Irwan tetap tinggal dirumahmu?.
Bagaimanapun juga dia bukan anak kandungku, dan bisa saja nanti dia terangsang? Aah… tidak mungkin, Irwan terlalu polos untuk terangsang, lagi pula kalau Irwan sampai pulang kekampung halamannya, apa yang harus kukatakan kepada Suamiku, bisa-bisa ia marah karena aku di anggap tidak becus mengurus Irwan.
“Irwan!” Panggilku lirih.
Entah dorongan dari mana, tiba-tiba saja aku membuka kancing gaun tidurku, lalu dengan perlahan kuselampirkan bagian atas gaunku kesamping pundakku sehingga aku yang tidak mengenakan bra ketika tidur mempertontonlan payudarahku di hadapannya.
Oh Tuhan… ini untuk kali pertama aku mempertontonkan payudarahku di hadapan anak laki-laki.
“Tante serius?”
“Iya Irwan, Tante serius kok…” Jawabku sembari tersenyum membelai rambutnya.
“Irwan boleh?” Dia menggantung kalimatnya.
Aku mengangguk, kemudian Irwan beranjak bangun duduk di sampingku. Dia menatapku tajam seakan tidak percaya dengan apa yang kulakukan.
Karena melihat Irwan bengong, aku jadi kesal sendiri. “Mau di lihat sampai kapan Wan?” Tanyaku sedikit menegurnya yang dari tadi menatap payudarahku dengan tatapan nanar.
“Ma… maaf Bunda!” Jawabnya.
Lalu dia mendekatkan wajahnya, dan sedikit kemudian payidarah ranumku berada di dalam mulutnya. Ooo… Tuhan! Rasanya sangat nikmat sekali ketika payudarahku berada di dalam mulutnya.
Perlahan mobil yang di kendarai Mas Anton berhenti tepat di depan rumahku, kulihat di luar sana Suamiku sudah menungguku. Saat melihat kedatangan mobil kami, Suamiku langsung berdiri tapi ia tidak menghampiriku, kulihat mimik wajahnya tampak sumringah saat melihat kepulanganku bersama Mas Anton.
Entah kenapa, aku menjadi merasa bersalah tehadap Suamiku karena telah membuatnya khawatir.
Saat aku ingin keluar mobil, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang menghentikanku, seolah melarangku untuk segera keluar dari mobil. Aku mendesah pelan, lalu kuputar tubuhku menghadap Mas Anton.
Maafkan aku Suamiku, tapi aku harus menjawab pernyataan cinta Mas Anton sekarang juga, di sini, di hadapanmu walaupun kamu tidak akan melihat ataupun mendengar suaraku, tapi aku ingin kamu tau kalau Istrimu kini bukan hanya milikmu seorang.
Segera aku memeluk Mas Anton kemudian mencium bibir Mas Anton.
Gila kamu Ina…
Aku memanggut bibir Mas Anton sebentar kemudian aku kembali bersandar di jok mobilnya, seraya tersenyum malu-malu di samping Mas Anton.
Mas yang mengerti keadaanku sekarang, berani merangkulku, memandangi wajahku dengan jarak yang sangat dekat. “Jadi jawabannya?” Tanya Mas Anton sambil membuka satu persatu kancing pakaian dinasku hingga terlihat payudarahku yang tertutup bra.
Aku tak langsung menjawab, melainkan membuang muka kearah Suamiku yang di ikuti Mas Anton, selama beberapa detik kami menghadap kearah Suamiku. Lalu kami kembali berpandangan.
“Aku mau Mas!” Bisikku lirih.
Kemudian dia memanggut bibirku dan aku membalas pagutannya, sementara telapak tangannya menyelusup masuk kedalam behaku, meremas payudaraku secara langsung, membuatku merintih nikmat merasakan remasannya di payudarahku.
Aku semakin ganas membalas kumatannya, lidah kami saling membelit nikmat, sementara tangannya semakin kasar meremas payudarahku.
Rem?asannya terasa begitu nikmar, apa lagi ketika kulitnya yang kasar menyentuh puttingku.
Maafkan aku Mas… Maafkan aku Suamiku, tapi caranya, perlakuannya membuatku merasa menjadi wanita yang sesungguhnya, bukan wanita baik-baik yang patuh terhadap Suaminya, maafkan Istrimu ini Mas.
Kami berciuman cukup lama hingga akhirnya Mas Anton melepas pagutan kami ketika Suamiku mendekat.
Buru-buru aku membenarkan kancing seragam dinasku sebelum Suamiku tiba di samping mobil Mas Anton. Segera aku membuka pintu mobil Anton yang di sambut tatapan curiga dari Suamiku.
“Mas… Mbak… aku pulang dulu ya!” Pekik Mas Anton.
Kemudian mobil yang ia kendarai menghilang di balik kegelapan malam.
Hanya dengan mengenakan handuk aku keluar dari dalam kamar mandi, kulihat Suamiku sedang duduk bersandar diatas tempat tidur kami sambil memainkan hp. Dia sempat melihat kearahku yang sedang berjalan menuju meja riasku.
Aku mematut diriku di depan cermin, memandangi tubuhku dari pantulan yang ada di cermin.
Wajar saja kalau Mas Anton jatuh hati kepadaku, aku memang sangat cantik, kulit putih bersih, payudarah besar membulat. Sungguh aku begitu beruntung memiliki tubuh yang sempurna.
Dari pantulan cermin aku juga dapat melihat Suamiku yang sedang asyik memandangiku, tapi ada satu hal yang membuatku tersenyum geli, saat aku melihat dirinya yang sedang meremas penisnya sendiri. Duh… kalau di ingat-ingat sudah satu bulan ini aku tidak memberinya jatah.
“Pengen ya Mas?” Godaku.
Dia tersenyum kecut. “Bolehkan sayang.” Mohonnya dengan tatapan memelas.
“Mas sudah lupa sama perjanjian kita?” Tanyaku, lalu aku beranjak dari kursi dan berjalan mendekati dirinya yang tampak kecewa.
Aku naik keatas pembaringan, kutatap wajah Suamiku yang sedang di landa birahi. Jujur saja, satu bulan tidak berhubungan badan, membuatku turut menderita, tapi aku harus menghukumnya agar ia lebih giat lagi mencari pekerjaan.
Perlahan jemari lembutku menyentuh wajahnya, dengan sedikit menunduk aku mengecup mesrah keningnya. Kasihan kamu Mas….
“Sampai kapan?” Tanyanya frustasi.
Aku tertegun sejenak. “Sampai Mas dapat pekerjaan yang layak.” Jawabku datar.
“Kamukan tau, aku sudah berusaha, tapi memang belum rejekinya. Masak kamu tega ngeliat Mas seperti ini setiap malam, punya Istri tapi tidak bisa di sentuh.” Rengutnya, rasanya aku ingin tertawa melihat ekspresinya yang terkadang kekanak-kanakan kalau ia tidak mendapatkan apa yang ia mau.
“Mas cintakan sama aku?” Ia mengangguk. “Mas sayangkan sama aku?” Ia kembali menunduk yakin. “Aku juga sangat mencintaimu Mas.” Lanjutku, kembali mengecup kening.
“Kalau begitu, izinkan aku menyentuhmu malam ini saja sayang!” Lagi ia merengek kepadaku seperti balita yang menginginkan susu.
“Ini demi kebaikan Mas, anggap saja ini sebagai motivasi buat Mas agar giat bekerja!”
“Kamu jahat sayang.” Rajuknya.
Seperti biasanya kalau ia lagi ngambek, Suamiku akan memiringkan tubuhnya membelakangiku, tapi itu hanya sesaat tapi besok pasti baik lagi.
-Mas Anton
Ping
Baru sebentar udah kangeen ni…
Ping
Baru sebentar udah kangeen ni…
Ya Tuhaan, Mas Anton bbm aku dan dia bilang kangen kepadaku.
-Aku
Baru juga tadi ketemunya.
Baru juga tadi ketemunya.
-Anton
Brrti km gak kangen ya?
Brrti km gak kangen ya?
-Aku
Kasi tau gak ya….
Kasi tau gak ya….
-Anton
Ooo… jadi gitu ya… nanti cantiknya hilang loh.
Ooo… jadi gitu ya… nanti cantiknya hilang loh.
Aku terkekeh pelan saat membaca bbm terakhir darinya. Ada-ada saja Mas Anton ini…
-Aku
Biarin… Mas juga ya rugi
Biarin… Mas juga ya rugi
-Anto
Hahahaha…
Jadi kamu kangen gak?
Hahahaha…
Jadi kamu kangen gak?
-Aku
Jujur… gak sabar nunggu hari besok
Jujur… gak sabar nunggu hari besok
-Anton
Sama… Adek lagi apa?
-Aku
Lagi duduk aja ni, Mas Hasan lagi ngambek
Lagi duduk aja ni, Mas Hasan lagi ngambek
-Anton
Ngambek, Hahaha….
Emang ngambek kenapa?
Ngambek, Hahaha….
Emang ngambek kenapa?
-Aku
Besok aja aku ceritaan Mas
Mas Anton lagi apa?
Besok aja aku ceritaan Mas
Mas Anton lagi apa?
-Anton
Lagi mikirin kamu bidadari syurgaku.
Lagi mikirin kamu bidadari syurgaku.
-Aku
Gombaaaal…
Gombaaaal…
-Anton
Hahaha….
Gombal Maskan cuman buat kamu
Malam ini kamu lagi pake apa?
Hahaha….
Gombal Maskan cuman buat kamu
Malam ini kamu lagi pake apa?
-Aku
Ihk… Mas mesum (Duh semenjak kapan aku jadi manja seperti ini.
Ihk… Mas mesum (Duh semenjak kapan aku jadi manja seperti ini.
-Anton
Gak boleh ya, habis kamu ngegemesin sayang.
Gak boleh ya, habis kamu ngegemesin sayang.
-Aku
Boleh kok Mas, malahan aku suka Mas gombalin.
Coba tebak aku pake apa? Kalau sayang pasti tau dong apa yang aku pake sekarang.
Boleh kok Mas, malahan aku suka Mas gombalin.
Coba tebak aku pake apa? Kalau sayang pasti tau dong apa yang aku pake sekarang.
-Anton
Apa ya…
Kayaknya kamu masi handukkan de?
Apa ya…
Kayaknya kamu masi handukkan de?
Jleeek… tebakannya sangat tepat sekali, membuatku semakin mengaguminya.
-Aku
Kok bisa tau Mas (Kagetku)
Kok bisa tau Mas (Kagetku)
-Anton
Hahaha….
Namanya juga cinta sayang
Btw, fotoin dong…
Hahaha….
Namanya juga cinta sayang
Btw, fotoin dong…
Deg… Aku terdiam sejenak, jujur aku memang sering memperlihatkan belahan dadaku kepadanya, tapi lebih dari itu belum perna.
-Anton
Sayang….
Sayang….
Kulihat Suamiku masih memunggungiku, dengan perlahan aku turun dari pembaringan, lalu berdiri di depan kaca besar yang menyatu dengan lemari pakaianku. Ayo Ina, ini demi orang yang kamu sayangi….
Kuarahkan kamera kekaca lemariku yang memantulku lekuk tubuhku, lalu… Cekleek…
Fuuh… Kulihat hasilnya lumayan bagus, cantik sangat seksi.
-Anton
Kamu marah sayang, kalau begitu tidak perlu. (Aku bukan marah Mas, tapi aku malu…)
Kamu marah sayang, kalau begitu tidak perlu. (Aku bukan marah Mas, tapi aku malu…)
Segera kukirimkan foto nakalku kepada dirinya, dan mengharapkan respon yang manis darinya, sebuah pujian darinya yang selama ini selalu membuatku melayang kelangit ke tujuh.
-Aku
Bukan marah Mas, tapi malu…
Bukan marah Mas, tapi malu…
-Anton
Kenapa malu, kamu seksi bidadari syurgaku.
Kenapa malu, kamu seksi bidadari syurgaku.
Aku tersenyum membaca, Mas Anton memang paling pintar memuji diriku.
Aku hendak kembali mengetikan sesuatu balasan untuknya, tapi tiba-tiba Suamiku sudah berada di belakangku. Buru-buru aku menyembunyikan hpku kebelakang punggungku. Bisa gawat kalau Mas Hasan sampai tau.
“Kamu bbman sama siapa sayang?” Tanyanya curiga kepadaku.
“Bukan siapa-siapa Mas, sekarang Mas tidur ya, ini sudah malam Mas.” Ujarku memerintahnya untuk segera tidur agar aku bisa bebas berbbman dengan kekasih gelapku.
-Anton
Ping… (terdengar suara dari hpku)
Ping… (terdengar suara dari hpku)
“Coba Mas lihat.”
Aku menggeleng tegas. “Ini rahasi Mas, ngertiin aku ya Mas.”
“Kenapa si kok aku gak boleh lihat, ada yang kamu rahasiain dari aku ya?” Katanya mulai emosi, aku meletakan hpku diatas meja kecil yang ada di samping lemari, lalu aku menarik tangan Suamiku, mengajaknya duduk diatas tempat tidur.
Dia melengoskan wajahku, aku tau dia ngambek… Dan sumpah demi apapun, aku suka setiap kali dia merajuk karena tidak mendapatkan apa yang dia mau dariku.
“Aku mau melihatnya.”
“Mas lagi emosi, aku gak mau ngomong sama Mas dulu, sekarang Mas tidur ya…” Perintahku kepadanya, dia bersungut kesal.
Lalu tanpa memperdulikan dia, aku mengambil hpku, dan membawanya keluar bersamaku dari dalam kamarku.
Aku baru saja selesai memasak, dan saat ini aku sedang menata makanan diatas meja. Setelah semuanya siap, aku segera beranjak menuju kamar Mertuaku, hendak mengajak Mertuaku makan malam bersama.
Aku melangkah gontai menuju kamar Mertuaku, sesampainya di depan kamar Mertuaku, tiba-tiba aku tidak sengaja melihat Mertuaku yang sedang tiduran dalam keadaan telanjang bulat.
“Astaga…”
Mataku terbelalak, dadaku bergemuruh melihat tangan Mertuaku yang sedang turun naik memainkan penisnya, dan yang membuatku lebih kaget lagi, dan nyaris membuatku jantungan, dia… Mertuaku sedang menggenggam seutas kain berbentuk huruf V yang ia dekatkan kehidungnya.
Ternyata dugaanku selama ini benar, dia yang suka mencuri celana dalamku.
Mas… Tolong aku, apa yang harus kulakukan sekarang? Melabraknya… tidak… tidak… aku tak akan melakukannya, mungkin aku harus menunggu Suamiku pulang terlebih dahulu. Dan membicarakan masalah ini dengannya.
“Eehmmpp… aroma memekmu enak banget nduk, Oooohk…” Aku sangat tertegun melihat dirinya yang sedang menikmati celana dalamku.
Sambil meracau tak jelas, kulihat tangannya mengocok penisnya. Aku tau dia pasti sedang membayangkan tubuhku, menggagahiku seperti ia meniduri banyak pelacur. Tapi… Ahkk… Kenapa dengan diriku.
Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku agar tak mengeluarkan suara.
Jujur saja, ukuran penis Bapak sangat besar, panjang dan gemuk, berbeda dengan milik Suamiku yang ternyata sangat kecil kalau mau di bandingkan dengan miliknya.
Aku jadi teringat cerita sahabatku Aurel, dia mengatakan semakin besar penis pasangan kita, maka rasanya akan jauh lebih nikmat, dan kita bisa mendapatkan orgasme berkali-kali dalam satu malam, dan lagi penis ukuran besar lebih tahan lama ketimbang yang berukuran kecil.
Apakah itu benar? Jujur saja aku tidak tau bagaimana rasanya orgasme, karena setauku ketika Suamiku menyetubuhiku rasanya hanya geli dan sedikit nikmat.
Tapi kalau sekiranya benda sebesar itu masuk kedalam diriku, apakah bisa muat? Oh Tuhan… Apa yang telah kupikirkan, ini salah aku tak boleh membandingkan ukuran penis Suamiku dengan milik orang lain, apa lagi ini milik Mertuaku sendiri.
Aahkk… Kapan kamu pulang Mas, Adek sudah gak tahan kamu tinggal terus.
Kemudian mataku memicing ketika melihat tubuh Mertuaku bergetar, lalu sedetik kemudian. “Aaaaarrr….” Creeeetss… Creetss…
Dari ujung kepala jamurnya, aku melihat lendir kental seperti susu keluar cukup tinggi dan sangat banyak sekali. Seumur-umur selama aku menikah baru kali ini aku melihat penis menembakan sperma hingga keatas dan sebanyak itu.
Milik Suamiku hanya meleleh keluar dan tak sebanyak milik Bapaknya.
Kulihat Mertuaku membersihkan spermanya dengan celana dalamku. Ooo… Tuhan, apakah diriku sebegitu cantiknya sehingga Bapak Mertuaku bisa menjadikanku sebagai objek onaninya.
Deg… Aku baru menyadari kesalahanku, ketika melihat Bapak Mertuaku berbalik dan mendapatkanku yang sedang mengentipnya bermasturbasi. Aku ingin lari tapi sudah terlambat, karena Mertuaku sedang berjalan menghampiriku.
“Sudah lama nduk?” Tanyanya.
Aku mengangguk lemah. “Ma… Ma… Maaf… Eehmm… Anu…. itu… sudaah… sudah… siap!” Kataku gugup, sungguh aku tidak bisa mengendalikan diriku saat ini.
Dia tersenyum hangat kepadaku. “Tidak perlu gugup seperti itu, tarik nafas, lalu hembuskan.”
Aku diam sejenak lalu menuruti perintahnya, tapi mataku tak bisa lipas memandangi benda besar yang ada di selangkangan. Sungguh luar biasa Bapak Mertuaku ini, padahal ia baru saja ejakulasi tapi penisnya tetap berdiri tegak.
“Makan malamnya sudah siap.” Kataku dengan satu tarikan nafas.
“Kebetulan Bapak sudah sangat lapar, oh iya… ini tolong kamu letakan di keranjang kotor.” Deg… Nafasku tercekak saat menerima celana dalamku yang sudah ia nodai dengan spermanya.
Tanpa banyak bicara, aku segera pergi meninggalkan Mertuaku, sembari menahan malu dan sesak di dadaku.
“Ouughkk…”
Kepalaku mendongak keatas, ketika lidah Irwan menari-nari di sekitar aurolaku. Sungguh sentuhan yang membuat seluruh sayrafku merespon, menghantarkan rasa nikmat di sekujur tubuhku, bahkan sedikit demi sedikit cairan cintaku meleleh membasahi celana dalamku.
Dengan lembut dia membuka mulutnya, memasukan payudarahku kedalam mulutnya sembari menatap mataku yang sayu.
Tidaaaak… Aahkkk… ini namanya bukan nenen tapi dia mengulum dan menjilati payudarahku. Sial… Aku tidak tahan lagi, dia… Aahkk… puttingku di gigit kecil olehnya.
“Eehhmm… Wan! Eehkk….”
Aku mendesah lirih ketika ia menghisap puttingku dengan dangat kuat.
Tangan kananku melingkar di bagian belakang kepalanya, sembari menjambak lembut kepalanya dan menekan wajahnya agar mengulum payudarahku. Membuatku kini di landa berahi, apa lagi aku sudah lama di tinggal Suami.
“Waaa… Eehnmpp….”
Sluuupss…. Sluuppss…. Slupppss….
Dia menghisap puttingku, memainkan ujung lidahnya menyentil puttingku yang sentif, membuat puttingku mengeras nikmat.
Tubuhku melinting, cairan cintaku membanjir semakin banyak. Sungguh aku tidak menyangkah kuluman Irwan bisa membangkitkan birahiku, padahal dia masih remaja. Apa lagi dia berasal dari kampung terpencil, rasanya tidak mungkin kalau ia melakukannya dengan sengaja.
“Kenapa Bunda? sakit puttingnya saya hisap”
“Eh… gak apa-apa kok Wan cuman rasanya geli banget, Bunda gak tahan.
“Oooo,…”
“Tahan ya Bun!” Ujarnya, lalu dia kembali mengulum puttingku. “Nenen Bunda enak, Irwan gak akan bosan kalau begini.” Celotehnya santai gak tau aku di sini sangat menderita.
Dekapan tanganku dikepalanya semakin kuat, membuat kulumannya terasa semakin nyata. Sementara tangan kanannya tanpa kusadari sudah berada diatas pahaku.
Dia menghisap putting payudarahku sembari memijit pahaku.
Lima menit kemudian Irwan berhenti mengulum payudarahku. Dia mengangkat kepalanya hingga mata kami berdua.
“Sudah selesai Wan?” Entah kenapa aku merasa sangat kehilangan.
Irwan menggeleng. “Boleh yang satunya lagi Bun? Biar adil….” Katanya, sembari menyingkap pakaianku yang menyembunyikan salah satu aset berharga milikku.
Belum sempat aku memberi jawaban, dia berpindah kesamping kiriku. Kemudian dia melakukan hal yang sama, memanjakan payudara kiriku dengan hisapan dan sapuan lidahnya di aurola dan puttingku.
Tubuhku semakin tak terkontrol, bahkan aku mengerang lebih keras. “Oohk… Wan, Aahkk… Aahkk… udah belum Wan?” Tanyaku mulai panik, karena nafsuku yang semakin tidak bisa kukontrol.
Seakan mengabaikan ucapanku, dia semakin intens menghisap payudarahku, sementara tangan kirinya kini dengan lancang meraih payudarahku.
Dia meremas susuku, di barengi dengan sesekali memilin puttingku.
Aku berusaha menghentikan pergelangan tangannya, karena aku tau ini sudah menjerumus kepelecehan seksual. Tapi sayang, aku seperti tak memiliki kekuatan untuk menyingkirkan tangan setannya yang sedang memilin puttingku.
Kedua kakiku semakin tidak tenang, kadang mengangkang kadang sangat merepat. “Aahkk… Waaaannn…. Aaaaaa….” Aku mulai histeris, rasanya sedikit lagi aku orgasme.
Kurasakan cairan cintaku sudah semakin tak terbentung, dan ketika orgasme itu hampir saja mendatangiku tiba-tiba dengan polosnya, tanpa merasa berdosa dia menghentikan kuluman dan remasannya di payudarahku secara bersamaan.
“Uda dulu Bun, makasi ya Bun…” Aku mengangah, kemudian dia pergi begitu saja.
Oh… Tuhan…..
Trauma? Mungkinkah? Sepertinya tidak… aku sama sekali tidak merasakan trauma setelah apa yang menimpah diriku tadi pagi, malahan rasa itu… Aahkk… Kenapa Tuhan memberiku ujian yang begitu sangat berat, bahkan diiriku sendiri tak mampu melewatinya.
Tidak, aku salah! Bukankah Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melewati batas kapasitas umatnya? Apakah itu artinya aku bisa melewati ini semua? Entahlah…. biar waktu yang menjawabnya.
“Kamu kenapa sayang?”
Aku menoleh kearah Suamiku. “Eh…” Hanya itu yang keluar dari bibir merahku.
Aku baru tersadar dari lamunanku setelah orang yang paling kucintai di dunia ini menyentuh jemariku dengan tulus.
Aku harus kuat menghadapi semua ini, bukan untuk diriku, melainkan untuk mereka yang aku cintai, Suamiku dan anak semata wayangku. Aku harus bisa tetap tersenyum bahagia di hadapan mereka seakan semuanya baik-baik saja.
“Umi lagi ngelamunin apa?” Tanya Putriku Asyifa.
Aku menggeleng pelan. “Gak ada sayang, kok makannya gak di habisin? Masakan Umi malam ini gak enak ya?” Tanyaku sembari merenyitkan dahiku kepada mereka.
“Yang ada tu Umi, kenapa makannannya dari tadi cuman di sentuh doang tapi gak di makan?” Tembak Suamiku.
Kulihat isi di dalam piringku tak berkurang sedikitpun.
“Paling Umi kepikiran uang bulanan Bi?” Celetuk Putriku, nyaris membuatku tertawa. Bagaimana mungkin anak seusia dirinya mengerti uang bulanan. Sepertinya memang benar apa kata orang tempo dulu, anak zaman sekarang cepat gede.
“Hust… tau apa kamu soal uang bulanan?” Sergah Suamiku, membuat Putriku tersenyum kecut.
“Udah ah… lanjut makan yuk.” Leraiku.
Tak terasa makan malam ini akhirnya bisa kulalui seperti biasanya, walaupun jauh di lubuk hatiku ada sesuatu yang mengganjal perasaanku. Kejadian tadi pagi benar-benar banyak menyita pikiranku. Aku tidak menyangkah bisa mengalami hal seperti ini, di balik kesempurnaan yang kumiliki bersama keluarga kecilku.
Selesai makan, aku kembali kedapur sambil membawa piring kotor untuk di cuci.
Walaupun di rumah ini kami memiliki seorang pembantu rumah tangga, tapi untuk melayani keluargaku, aku jauh lebih suka melakukannya sendiri ketimbang meminta bantuan Inem.
Dari wastafel tempatku mencuci saat ini aku dapat melihat Suami dan anakku yang sedang berebut menonton tv. Suamiku lebih suka menonton acara berita ketimbang sinetron, sementara anakku sebaliknya, ia menyui sinetron.
“Sibuk ya Bu?” Deg… “Jangan gugup, bersikaplah seperti biasanya agar mereka tidak curiga.” Oh Tuhan, jangan lagi aku mohon.
Kurasakan sentuhan di pantatku dengan perlahan, jemari itu dengan nakalnya membelai pantatku, lalu mencubit kecil pantatku, membuat panpatku bergetar nikmat. Kugigit bibirku menahan birahi yang tiba-tiba melanda diriku.
Stopp… Please… Don’t tuch Me… Aahkk… please, help me…
Kurasakan jemari tengahnya menekan selangkanganku, membuatku terpaksa menutup mulutku agar tidak mengeluarkan suara erangan yang bisa di dengar mereka.
“Cukup, saya mohon!” Aku menoleh kebelakang kearah Ujang yang sedang menyeringai mesum kepadaku. Aahk… dia keterlaluan.
Tangan kirinya menyusup kepinggangku sementara tangan kanannya meremas pantat bulatku yang menggoda. “Sstt… di nikmatin aja ya Bu, jangan di lawan.” Gila… dia menyuruhku menikmati pelecehan ini.
“Jangan gila, di sini ada anak dan Suamiku.” Aku mendelik kesal.
Dia terkekeh mentertawakanku. “Lebih gila, lebih nikmat Bu.” Komentarnya enteng kepadaku. Apa dia menganggap aku sedang bercanda? Apa dia tidak mengerti kalau saat ini aku sungguh sangat ketakutan.
Kurasakan perlahan gaun tidurku diangkat keatas, di sangkutkan di pinggangku.
“Ternyata Umi Ema cuman di luarnya saja alim, dan di dalamnya sungguh sangat nakal!” Komentarnya membuatku tersinggung.
Oh Tuhan, aku baru sadar kalau malam ini aku sengaja mengenakan g-string yang baru saja kubeli beberapa hari yang lalu untuk menggoda Suamiku malam ini. Bukannya sebaik-baik wanita adalah seorang wanita yang mau tampil seksi di hadapan Suaminya. Karena itulah alasannya malam ini aku berpenampilan sedikit nakal.
Tapi siapa yang menyangkah, tampilan nakalku malah kupersembahkan untuk pria lain. Ohk… Maafkan aku Mas.
Aku tertunduk malu, tatkalah pembantuku dengan sengaja menarik g-striku keatas hingga talinya tenggelam diantara lipatan bibir vaginaku dan anusku. Parahnya lagi ia menggesek-gesekkan g-stringku, membuatku benar-benar tidak tahan.
Apa lagi ketika tali g-string itu menggesek clitoriskua, Ahkk… rasanya aku ingin segera di setubuhi olehnya.
“Memek Ibu sangat basah, sudah gak tahan ya.” Ledekan itu sangat menggangguku.
“Jangan di lanjutkan!” Aku memohon.
“Yakin?” Tanyanya.
Aku terdiam, entah kenapa mulutku terasa keluh. Ayolah Ema… hanya satu kalimat yang terdiri dari lima huruf, apa itu begitu sulit bagimu?
Satuku kakiku mundur kebelakang, dan di ikuti oleh kakiku yang lain, hingga aku tampak sedang menungging memamerkan keindahan pantat dan vaginaku di hadapan pembantuku.
Kamu sudah gila Ema, benar-benar sangat tidak waras… Lihat Suami ada di depanmu saat ini.
“Indah sekali Bu.” Dia memujiku sambil mencubit pantat montokku.
Cerita Dewasa Bergambar – Ema di dapur
Perlahan kurasakan dia membuka lipatan pantatku, menyibak tali g-stringku kesamping, sehingga anus dan lobang vaginaku menjadi tontonan yang sangat menarik baginya.
“Oughjkk…” Aku mendesah lirih.
Kurasakan ujung lidahnya menyapu vaginaku, lalu naik keanusku, dan dari anusku turun kembali menuju vaginaku. Di sana lidahnya menggelitik lobang vaginaku, menghisap clitorisku, membuat tubuhku menggelinjang nikmat.
Cerita Dewasa Bergambar – Ema di dapur
Sluuppss… Sluuuppss… Sluuppp… Slupps…. Sluppss…. Sluuppss….
Lidahnya kembali naik menuju anus, menjilati anusku, diringi dengan tusukan lembut di anusku.
“Aaaahkk… Jangaaaan…!” Erangku.
Cengkramanku di wastafel semakin erat, tatkala kurasakan kedua jarinya menyelusup masuk kedalam rongga vaginaku. “Aaaayyy…” Aku memekik dalam diam.
Ploppss… Plooppsd… Sluppss… Sluppss… Plooppss… Sluupps…. Sluups….
Kocokan yang di kombinasikan dengan jilatan di anusku, mengantarkanku terbang semakin tinggi, aku sudah tidak sanggup lagi menahan shawat syetan yang bersemayam di diriku, yang sedari tadi terus menggodaku.
Hoosstt…. Hoossstt…. Hoosstt…
Nafasku mulai memburu, kurasakan nikmat di seluruh tubuhkum
Nafasku mulai memburu, kurasakan nikmat di seluruh tubuhkum
Sedikit lagi… Ya… hanya butuh waktu sedikit lagi sebelum aku benar-benar meledak. Orgasme yang selalu kunantikan sebentar lagi akan kudapatkan. “Aahkk….” Aku mengangkat wajahku.
Dan di saat bersamaan, kulihat Suamiku beranjak dari sofa dan ia berjalan kearahku.
Kearahku? Oh tidak…
Please… jangan kesini Mas aku mohon, Aahkk… Aahkk… Jangaaaan Mas… kembalilah, Oohkk… Aku mohooon….
Dan dia semakin mendekatiku, semakin dekat dan terus semakin dekat, hanya tinggal beberapa langkah lagi ia tiba di hadapanku, melihatku, Istrinya di cumbu oleh pembantunya… Aahkk…. Aku keluaaaar….
Crrrreerrss…. Creeeettss…. Crreettss… Crreeettss… Seeeeeeerrrrrr…. Seeeeeeeerrrrrr…..
Aku berlari kecil menuju kamarku, lalu kuhempaskan tubuhku diatas tempat tidurku.
Aku berlari kecil menuju kamarku, lalu kuhempaskan tubuhku diatas tempat tidurku.
“Mas kapan kamu pulang? Adek udah gak tahan lagi Mas….!” Bisikku lirih, menatap kosong langit-langit kamarku.
Terlintas kembali bayangan Mertuaku yang sedang onani dengan celana dalamku. Kulihat kembali celana dalam merahku yang tampak sangat lengket di kulit tanganku. Sperma Mertuaku terlihat begitu jelas, sanking banyaknya.
Aku sadar betul kalau Mertuaku bukanlah Bapak yang baik untuk kami anaknya, tapi kalau sampai terobsesi terhadap menantunya sendiri, itu sungguh di luar dugaanku.
Aku sungguh tidak menyangkah kalau diriku bisa menjadi obyek onaninya.
Kucoba melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan Mertuaku. Kudekatkan celana dalam itu kehidungku, lalu kuhiruf dalam-dalam aroma sperma Mertuaku yang menyengat, menusuk hidungku. “Aaahkk…” Apakah aku terangsang? Ehhmm… Mas aku kangen kamu.
Tangan kananku reflek membelai payudarahku sendiri, meremasnya dengan lembut sambil membayangkan kehadiran Suamiku.
Tidak… Aku bohong! Bukan Suamiku tapi Bapaknya, ya… bayangan Mertuaku yang sedang mengocok penisnya yang besar di depan mataku dengan eksprenya penuh gairah. Oohh… Enaak sekali Pak…
Kubuka satu persatu kancing piyamaku hingga kedua payudaraku menyembul keluar. Sambil menghirup celana dalamku bekas tumpahan sperma Mertuaku, aku megeplotasi payudarahku dengan remasan dan pilinan.
“Ouughkk Pak….!” Tubuhku mengejang.
Kujatuhkan celana dalam itu diatas wajahku, sementara tangan kananku kini ikut meremas payudarahku, memilin puttingku yang terasa semakin gatal.
Kontol itu… Aaahkk… Oohhkk… dia besaaar dan aku menginginkannya.
“Paak… Aahkk… Pak…!” Aku merengek nikmat.
Tangan kananku kini turun menuju selangkanganku, menyelusup masuk kedalam celana tidurku, lalu kubelai bibir vaginaku dari luar celana dalamku yang ternyata sudah sangat basah, menandakan kalau aku begitu terangsang.
Tubuhku menggeliat seiring dengan gosokan jemariku di clitorisku.
“Oouhhkk… Pakkk… Kotol Bapak besaaar… aku mau kontol Bapak… Aahkk… Aahkk…” Bayangan Mertuaku terasa semakin tajam, menghantuiku hingga aku hanya bisa mengerang.
Tak tahan, aku langsung melepas celanaku dan kemudian kembali kubelai bibir vaginaku, jemariku dengan mudahnya mencari cela lobang vaginaku yang licin. Dengan perlahan, kedua jariku menusuk masuk kedalam vaginaku.
Tubuhku tersentak tatkala kedua jariku bekerjasama mengocok vaginaku, sementara tangan kiriku kembali memegangi celana dalamku, menghirup dan menikmati aroma sperma Mertuaku yang sangat nikmat.
Kucoba memberanikan diri menjilati sperma Mertuaku yang ada di celana dalamku, dan ternyata rasanya asin dan gurih, aku menyukainya…
Cerita Dewasa Bergambar – Elvina Masturbasi
Semakin lama tubuhku semakin menggelinjang tak tertahankan, dan sedetik kemudian.
“Paaaak… Aku dapaaaaat!” Aku memekik diiringi dengan squirt yang kuraih.
“Hossstt… Hosstt… Hosstt…” Nafasku memburu.
Perlahan kubuka kedua bola mataku yang indah, lalu kudapatkan sesosok pria yang berdiri di ambang pintu kamarku sembari tersenyum.
Ooo ternyata dia Mertuaku….
Deg… Oh Tuhaan….
Aku pasti salah lihatkan? Tapi… Ah… Dia memang ada, dan sangat nyata…
“Udah selesai Nduk?” Dia menggodaku. “Tidurnya.” Sambungnya lagi.
Aku terdiam membisu, sungguh aku sangat malu sekaligus takut… Aku takut dia masuk dan memperkosaku seperti cerita dewasa yang perna kubaca di salah satu forum dewasa. Tapi apa dia benar-benar ingin memperkosaku.
“Loh kok malah bengong? Bapak lapar ni nduk, dari tadi Bapak nungguin kamu, ternyata kamu malah mau tidur, sampe ngigaunya keras banget.” Jelasnya, membuat wajahku memerah menahan rasa malu.
“Iya maaf Pak! Aku ketiduran…” Oh ya… Tidur yang sangat enak sepertinya.
Dia menyeringai tersenyum. “Ya udah yuk, temenin Bapak makan dulu, kamu juga pasti belum makankan?” Ajaknya lagi, seperti sedang membujuk anak gadisnya.
Aku segera turun dari atas tempat tidurku dan buru-buru mengenakan kembali celanaku. Aku menghampirnya dengan wajah tertunduk, karena rasa malu itu sangat menyiksa diriku, apa lagi melihat respon Mertuaku yang seakan tidak terjadi apapun barusan.
Aku berjalan mendahuluinya sementara ia melangkah di belakangku.
Sesampainya di meja makan, kulihat piringku sudah terisi nasi berikut dengan lauk pauknya. Memang harus kuakui Mertuaku ini sangat baik dan perhatian, tapi sayang… kelakuannya yang suka menyewa wanita penghibur dan berjudi terkadang membuatku kesal.
“Itu celana dalamnya gak mau kamu letakin dulu Nduk?” Tegur Mertuaku. “Nanti susah megang sendoknya loh…” Lanjutnya membuatku nyaris mengalami gagal jantung.
Astagaa… bagaimana mungkin sedari tadi aku selalu menggenggam, membawa celana dalam bekas sperma Mertuaku ini.
Kugelengkan kepalaku dengan perlahan melihat kelakuan sahabatku Rini. Gadis itu melambaikan tangannya kepada seorang pria yang sedang melaju pelan dengan mobilnya.
Kugelengkan kepalaku dengan perlahan melihat kelakuan sahabatku Rini. Gadis itu melambaikan tangannya kepada seorang pria yang sedang melaju pelan dengan mobilnya.
Kulihat jam di hpku sudah menunjukan pukul dua dini hari. Jam segini teman prianya baru pulang.
Sebenarnya aku bukan tipe wanita yang suka ikut campur, tapi untuk urusan maksiat aku tidak bisa tinggal diam, walaupun aku tidak bisa mencegahnya dengan kedua tanganku, tapi setidaknya aku bisa menegurnya dan memberinya nasehat yang bijak untuknya.
“Assalamualaikum Rin!”
“Loh belom tidur Bu Ustadza?” Dia memang paling suka memanggilku dengan kalimat Bu Ustadza, mungkin karena aku terlalu sering menceramahi dirinya sehingga ia menjulukiku sebagai Ustadza.
Aku mendesah lirih. “Kebiasaan… Jawab salam dulu Rini yang cantik, baru nanya…” Jelasku, sembari tersenyum kecut.
“Hehehe… Walaikumsalam!” Huh… Aku menggeleng pelan.
“Aku baru bangun, mau ibadah malam! Siapa dia Rin? Ngapain dia kesini? Kok dia pulangnya malam banget Rin?” Cercaku dengan berbagai pertanyaan.
“Iihkk Ana nanyanya satu-satu dong.”
“Oke… Itu siapa?” Kataku mulai mengintrogasinya.
“Dia itu tamu sekaligus mucikariku yang baru. Namanya Anton, orangnya tajir habis.” Jawabnya enteng, sambil berlalu masuk kedalam kamarnya, aku mengikuti dirinya.
Lagi-lagi aku di suguhi pemandangan yang menjijikan, kulihat beberapa jenis dildo tergeletak di dalam kamarnya, dan bau yang menyengat tercium di hidungku.
Aku duduk dilantai kamarnya, sembari memperhatikan kamarnya yang berantakan.
“Kalian tadi habis ngapain?”
Dia nyengir kuda. “Masak kamu tidak tau si Na!” Jawabnya, dengan mengulum senyumnya. Duh… anak ini benar-benar keterlaluan.
Tentu saja aku tau, karena kamarku berdampingan dengan kamarnya.
“Mau sampai kapan kamu kayak gini Rin?”
“Aku tidak tau Ana, tapi… kamu taukan, aku tidak punya uang.” Lagi-lagi alasannya finansial, kenapa uang selalu menjadi alasan untuk berbuat dosa.
“Dengerin aku, Tuhan tidak akan membiarkan hambanya berada dalam kesulitan, asalkan hambanya mau berusaha, pasti akan ia beri jalan kemudahan untuk hambanya. Kamu bisa mencari uang dengan cara yang lebih halal.” Sebisa mungkin aku mencoba menasehatinya.
“Kita berbeda Ana!”
“Apa bedanya Rin, kita sama-sama anak yatim piatu? Hanya saja aku mencari uang dengan cara yang halal, tapi kamu malah memilih untuk melacurkan diri.” Kataku dengan nada tinggi, sungguh aku sangat kesal dengannya.
Seandainya saja kamu tau Rin, sudah dari dulu aku ingin pergi dari rumah ini, mencari kontrakan baru yang lebih Agamis.
Tapi amanah Ibumu sebelum meninggal, membuatku terpaksa harus selalu berada di sampingmu, menjagamu agar kembali kejalan yang benar, tapi kamu selalu mengecewakanku.
“Sudalah Na, aku tidak mau berdebat… Tapi aku berharap kamu masih mau menganggapku sebagai saudaramu.” Mohonnya.
“Tentu… selamanya akan tetap begitu.”
“Terimakasi Na… Maaf aku selalu membuatmu kecewa, tapi percayalah saat ini aku belum bisa berhenti….” Dia memelukku dengan sangat erat, aku tau ini sangat berat baginya.
“Aku akan menunggumu!”
“Kamu sahabat yang baik, ah tidak… kamu saudara yang baik, aku begitu beruntung memiliki sahabat seperti dirimu.” Dia tersenyum, dan senyuman itu selalu membuat hatiku luluh.
Suatu hari nanti, aku berharap kamu mau berubah menjadi gadis yang polos seperti dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar